Ananto pratikno.ananto@gmail.com [ppiindia]
2015-11-10 04:21:00 UTC
Pesantren, Kemerdekaan dan Keindonesiaan
Oleh: Agus Muhammad
Pesantren merupakan salah satu unsur penting dalam dinamika historis bangsa
Indonesia. Secara hirtoris, pesantren telah âmendokumentasikanâ berbagai
peristiwa penting bangsa Indonesia, baik sejarah sosial , budaya, ekonomi
maupun politik bangsa Indonesia.
Sebagai lembaga pendidikan, peran utama pesantren tentu saja
menyelenggarakan pendidikan keislaman kepada para santri. Namun, dari masa
ke masa, pesantren tidak hanya berperan dalam soal pendidikan, tetapi juga
peran-peran sosial bagi masyarakat di sekitarnya.
Salah satu peran penting pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa ini
adalah keterlibatannya dalam perjuangan melawan penjajah. Ketika Jepang
memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para
kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah. Bambu Runcing yang terkenal
sebagai senjata para pejuang kemerdekaan adalah inisiatif dari Kiai Subeki
atau Mbah Subki yang kemudian diabadikan sebagai nama pesantren, yakni
Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.
Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren (Gunung Agung, 1984),
mantan Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara
pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat
dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman â yang belakangan menjadi panglima
besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam
perjalanan ke medan perang Ambarawa.
Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif
Masa Depan (Gema Insani Press, 1997) seperti dikutip Asyuri (2004),
masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam.
Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan
tempat terpencil yang jauh dari jangakauan kolonial. Maka tidak aneh bila
pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan
kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan
Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam.
Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat
jihad santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan
saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang berbau
Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi,
sepatu dan sebagainya.
Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam
perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih
berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia.
Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung,
Pattimura dan sebagainya. Beberapa pemberontakan yang dipelopori oleh kaum
santri antara lain adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat
(1821-1828) yang dipelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku Imam
Bonjol; pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830);
Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk
melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada
tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan
petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain
oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan masuk
ke Aceh.
Peristiwa 10 November
Pada awalnya kalangan pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang
sendiri-sendiri dalam melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai
terkoordinir melalui peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diabadikan
sebagai Hari Pahlawan.
Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, tidak semua negara di dunia mengakui kedaulatan dan kemerdekaan
Indonesia. Belanda dan sekutunya termasuk yang belum mengakui kemerdekaan
Indonesia. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, terdengar berita
bahwa Indonesia sudah mulai diserang kembali oleh Belanda dan Sekutunya.
Pada 10 Oktober 1945 Belanda dan Sekutunya telah menduduki Medan, Padang,
Palembang, Semarang dan Bandung setelah melalui pertempuran sengit.
Menghadapi kenyataan ini, kalangan kiai pesantren segera merencanakan
pertemuan diantara para pimpinan pesantren. Sebagaimana diceritakan K.H.
Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia (Al-Maâarif, Bandung 1981), KH Hasyim Asyâari memanggil Kiai
Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya untuk
mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU untuk
berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO)
di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul
semua. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang
dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama
HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi
Sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim -
tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang
merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang
kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak
penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus
dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan
penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya
qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban
kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).
Fatwa jihad itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio disertai dengan
teriakan Allahu Akbar sehingga berhasil membangkitkan semangat juang
kalangan santri untuk melawan penjajah.
Para kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan
nonreguler Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon langsung
atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting
dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan tertinggi Sabilillah sendiri adalah
K.H. Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin.
Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang dipimpinan langsung oleh Kiai
Wahab Hasbullah.
Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas
pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando.
Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata.
Pada detik-detik ini pesantren-pesantren juga didatangi oleh para pejuang
dari berbagai kalangan untuk minta kesakten kepada para kiai. Tanpa itu
para pejuang merasa tidak akan mampu menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu
dengan senjata-senjata berat mereka.
Seperti ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004
(Serambi, Jakarta, 2005), seruan jihad itu berhasil menggugah dan
membangkitkan semangat juang kaum santri. Ribuan kiai dan santri dari
berbagai daerah mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal
Mallaby itu dikenang sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum
santri melawan penjajah.
Refleksi Keindonesiaan
Peran besar kalangan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tentu patut
menjadi refleksi bagi kita semua. Refleksi ini penting karena di tengah
gegap gempita perayaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, kiprah pesantren
bagi kemerdekaan Indonesia makin hari makin dilupakan orang, bahkan oleh
kalangan pesantren sendiri. Ini tentu menyedihkan karena perjuangan
kalangan pesantren terhadap eksistensi Negara Republik Indonesia tidak
hanya berhenti setelah proklamasi, tetapi terus dilanjutkan di masa-masa
kemudian.
Dalam pemberontakan DI/TII misalnya, kalangan pesantren tidak memberikan
dukungan meskipun yang pemberontakan itu dilakukan oleh orang Islam dan
ditujukan untuk mendirikan negara Islam. Pondok Pesantren Cipasung
misalnya, yang didirikan tahun 1931 oleh KH Ruhiat, beberapa kali bentrok
dengan kelompok DI/TII karena menolak mendukung dan bergabung dengan
pemberontak tersebut. Padahal DI/TII lahir di wilayah yang sama dengan
Pesantren Cipasung. Sebagai organisasi yang memayungi kalangan pesantren,
NU juga dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta,
karena NKRI sudah dianggap final.
Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi kebangsaan Indonesia mulai
mendapat tantangan serius ketika muncul kalangan Islam garis keras yang
mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi penyelesaian berbagai krisis
di Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang
antara membawa gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan
karena kalangan pesantren sangat kental dengan ciri moderat, menghargai
keberagaman, memandang wahyu dan akal sebagai acuan kebenaran yang saling
membutuhkan serta menghagai nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Sementara
Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini.
Pasca reformasi, eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak
tantangan serius. Dengan modal sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan
kemerdekaan, pesantren mestinya bisa berbuat banyak untuk turut membantu
penyelesaian berbagai masalah kebangsaan. Sayangnya, para pemimpin
pesantren yang belakangan marak terlibat dalam politik praktis tidak banyak
yang memiliki visi kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Kita berharap,
pesantren melalui para kiai, santri dan alumninya di masa-masa mendatang
dapat memainkan lagi peran kebangsaan seperti yang dilakukan oleh para
pendahulu mereka. []
Agus Muhammad, pengurus Rabithah Maâahid Islamiyah Nahdlatul Ulama
Oleh: Agus Muhammad
Pesantren merupakan salah satu unsur penting dalam dinamika historis bangsa
Indonesia. Secara hirtoris, pesantren telah âmendokumentasikanâ berbagai
peristiwa penting bangsa Indonesia, baik sejarah sosial , budaya, ekonomi
maupun politik bangsa Indonesia.
Sebagai lembaga pendidikan, peran utama pesantren tentu saja
menyelenggarakan pendidikan keislaman kepada para santri. Namun, dari masa
ke masa, pesantren tidak hanya berperan dalam soal pendidikan, tetapi juga
peran-peran sosial bagi masyarakat di sekitarnya.
Salah satu peran penting pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa ini
adalah keterlibatannya dalam perjuangan melawan penjajah. Ketika Jepang
memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para
kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah. Bambu Runcing yang terkenal
sebagai senjata para pejuang kemerdekaan adalah inisiatif dari Kiai Subeki
atau Mbah Subki yang kemudian diabadikan sebagai nama pesantren, yakni
Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.
Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren (Gunung Agung, 1984),
mantan Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara
pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat
dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman â yang belakangan menjadi panglima
besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam
perjalanan ke medan perang Ambarawa.
Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif
Masa Depan (Gema Insani Press, 1997) seperti dikutip Asyuri (2004),
masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam.
Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan
tempat terpencil yang jauh dari jangakauan kolonial. Maka tidak aneh bila
pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan
kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan
Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam.
Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat
jihad santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan
saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang berbau
Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi,
sepatu dan sebagainya.
Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam
perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih
berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia.
Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung,
Pattimura dan sebagainya. Beberapa pemberontakan yang dipelopori oleh kaum
santri antara lain adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat
(1821-1828) yang dipelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku Imam
Bonjol; pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830);
Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk
melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada
tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan
petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain
oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan masuk
ke Aceh.
Peristiwa 10 November
Pada awalnya kalangan pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang
sendiri-sendiri dalam melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai
terkoordinir melalui peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diabadikan
sebagai Hari Pahlawan.
Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, tidak semua negara di dunia mengakui kedaulatan dan kemerdekaan
Indonesia. Belanda dan sekutunya termasuk yang belum mengakui kemerdekaan
Indonesia. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, terdengar berita
bahwa Indonesia sudah mulai diserang kembali oleh Belanda dan Sekutunya.
Pada 10 Oktober 1945 Belanda dan Sekutunya telah menduduki Medan, Padang,
Palembang, Semarang dan Bandung setelah melalui pertempuran sengit.
Menghadapi kenyataan ini, kalangan kiai pesantren segera merencanakan
pertemuan diantara para pimpinan pesantren. Sebagaimana diceritakan K.H.
Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia (Al-Maâarif, Bandung 1981), KH Hasyim Asyâari memanggil Kiai
Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya untuk
mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU untuk
berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO)
di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul
semua. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang
dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama
HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi
Sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim -
tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang
merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang
kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak
penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus
dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan
penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya
qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban
kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).
Fatwa jihad itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio disertai dengan
teriakan Allahu Akbar sehingga berhasil membangkitkan semangat juang
kalangan santri untuk melawan penjajah.
Para kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan
nonreguler Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon langsung
atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting
dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan tertinggi Sabilillah sendiri adalah
K.H. Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin.
Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang dipimpinan langsung oleh Kiai
Wahab Hasbullah.
Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas
pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando.
Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata.
Pada detik-detik ini pesantren-pesantren juga didatangi oleh para pejuang
dari berbagai kalangan untuk minta kesakten kepada para kiai. Tanpa itu
para pejuang merasa tidak akan mampu menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu
dengan senjata-senjata berat mereka.
Seperti ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004
(Serambi, Jakarta, 2005), seruan jihad itu berhasil menggugah dan
membangkitkan semangat juang kaum santri. Ribuan kiai dan santri dari
berbagai daerah mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal
Mallaby itu dikenang sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum
santri melawan penjajah.
Refleksi Keindonesiaan
Peran besar kalangan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tentu patut
menjadi refleksi bagi kita semua. Refleksi ini penting karena di tengah
gegap gempita perayaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, kiprah pesantren
bagi kemerdekaan Indonesia makin hari makin dilupakan orang, bahkan oleh
kalangan pesantren sendiri. Ini tentu menyedihkan karena perjuangan
kalangan pesantren terhadap eksistensi Negara Republik Indonesia tidak
hanya berhenti setelah proklamasi, tetapi terus dilanjutkan di masa-masa
kemudian.
Dalam pemberontakan DI/TII misalnya, kalangan pesantren tidak memberikan
dukungan meskipun yang pemberontakan itu dilakukan oleh orang Islam dan
ditujukan untuk mendirikan negara Islam. Pondok Pesantren Cipasung
misalnya, yang didirikan tahun 1931 oleh KH Ruhiat, beberapa kali bentrok
dengan kelompok DI/TII karena menolak mendukung dan bergabung dengan
pemberontak tersebut. Padahal DI/TII lahir di wilayah yang sama dengan
Pesantren Cipasung. Sebagai organisasi yang memayungi kalangan pesantren,
NU juga dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta,
karena NKRI sudah dianggap final.
Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi kebangsaan Indonesia mulai
mendapat tantangan serius ketika muncul kalangan Islam garis keras yang
mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi penyelesaian berbagai krisis
di Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang
antara membawa gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan
karena kalangan pesantren sangat kental dengan ciri moderat, menghargai
keberagaman, memandang wahyu dan akal sebagai acuan kebenaran yang saling
membutuhkan serta menghagai nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Sementara
Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini.
Pasca reformasi, eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak
tantangan serius. Dengan modal sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan
kemerdekaan, pesantren mestinya bisa berbuat banyak untuk turut membantu
penyelesaian berbagai masalah kebangsaan. Sayangnya, para pemimpin
pesantren yang belakangan marak terlibat dalam politik praktis tidak banyak
yang memiliki visi kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Kita berharap,
pesantren melalui para kiai, santri dan alumninya di masa-masa mendatang
dapat memainkan lagi peran kebangsaan seperti yang dilakukan oleh para
pendahulu mereka. []
Agus Muhammad, pengurus Rabithah Maâahid Islamiyah Nahdlatul Ulama
--
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."