Ananto pratikno.ananto@gmail.com [ppiindia]
2015-11-11 02:50:10 UTC
Bung Tomo: Santri yang Pahlawan
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
"Andai tak ada takbir, saya tidak tahu dengan cara apa membakar semangat
para pemuda untuk melawan penjajah." (Bung Tomo).
Namanya Sutomo. Panggilan karibnya Bung Tomo. Ia arek Suroboyo asli, lahir
pada 1920 di Surabaya dan meninggal pada 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi,
tatkala sedang menunaikan ibadah haji.
Ia adalah sosok pemuda yang selalu bersemangat dan berai-api dalam
mengemukakan pendapat. Karakter yang demikian itu memang, meminjam analisis
sosiolog Nur Syam (2007), adalah karakter khas masyarakat pesisiran yang
terbuka, egaliter, dan cenderung ekstrover. Dan Sutomo muda adalah
kristalisasi karakter masyarakat khas pesisiran yang menjunjung tinggi
kesetaraan dan antipenjajahan.
Sutomo muda selalu gelisah dengan keadaan yang terjadi pada masa
penjajahan. Ia sangat bersedih melihat banyak ketidakadilan terjadi di
depan matanya. Ia bukan saja menangis, ia bertekad dalam hati bahwa suatu
saat ia akan berbuat demi terbebasnya bangsa dari cengkeraman penjajah.
Tekad itulah yang kelak kemudian hari membawanya pada sebuah sejarah besar
di mana ia menjadi salah satu aktor utamanya. Ya, peristiwa itu adalah
pertempuran dahsyat arek-arek Suroboyo dengan NICA.
Sejarah pertempuran Surabaya yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945
itu menurut Agus Sunyoto (2015) adalah sejarah pertempuran dahsyat yang
pernah terjadi di nusantara. Banyak masyarakat sipil yang terlibat di
dalamnya.
Mereka rata-rata hanya berbekal tekad dan semangat cinta Tanah Air dan agar
terbebas dari segala macam bentuk penjajahan yang sangat merugikan. Dua
bekal itulah yang mereka gamit mati-matian sampai berhasil dengan susah
payah merebut kedaulatan Indonesia yang sesungguhnya.
Sosok religius
Banyak yang belum mengetahui sejarah di balik meletusnya peristiwa 10
November di Surabaya. Ia bukanlah perang yang tanpa sebab musabab. Ia bukan
peristiwa tunggal. Ada banyak latar dan alasan yang menjadi pemantik
semangat pertempuran dan perlawanan itu. Dan tentu saja pemantik utama
perlawanan itu adalah fatwa Resolusi Jihad yang dimotori oleh KH M Hasyim
Asy'ari dan ulama-ulama NU.
Fatwa Resolusi Jihad adalah landasan historis-filosofis yang menjadi bahan
bakar serta energi perlawanan arek-arek Suroboyo sehingga mereka bertindak
tanpa ragu sama sekali. Apalagi, kondisi sosiologi masyarakat Surabaya yang
memang "terbiasa" dengan budaya tawuran, tidak mengherankan jika ada
tawuran yang "diperbolehkan" atas dasar fatwa pemuka agama, maka tentu saja
bisa kita bayangkan bagaimana reaksi mereka. Kalap dan tidak keruan aksinya.
Dalam pusaran momentum Resolusi Jihad itulah sesungguhnya Bung Tomo mulai
banyak diperhitungkan. Ia tercatat beberapa kali sowan kepada KH M Hasyim
Asy'ari ke Tebuireng. Mbah Hasyim--sapaan karib KH M Hasyim Ays'ari--adalah
sosok sepuh yang sangat mengerti potensi. Ia tampaknya membaca bakat
"pembakar semangat" yang ada dan dimiliki oleh Bung Tomo kala itu.
Kedekatannya dengan Mbah Hasyim itulah yang menjadi bukti autentik bahwa
sesungguhnya Bung Tomo adalah sosok santri yang religius dan agamis. Tentu
saja tema santri yang saya maksud bukan santri yang merujuk pada definisi
usang dan keliru yang dibuat oleh Clifford Geertz itu.
Santri dalam hemat saya, sebagaimana dikatakan KH A Mustofa Bisri (2015)
adalah siapa saja yang memiliki akhlak mulia dan memiliki kepatuhan
terhadap agama. Dua kualifikasi itu melekat pada diri Bung Tomo.
Maka jelas dan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Bung Tomo adalah sosok
santri yang religius. Pekikan lafaz Allahu Akbar yang diteriakkannya saat
membakar semangat perlawanan arek-arek Suroboyo adalah bukti lain dari sisi
kesantriannya. Belum lagi, kedisiplinannya dalam beribadah yang
mengantarkannya sebagai seorang Muslim yang disayang Allah sehingga
nyawanya diambil tatkala sedang menunaikan ibadah haji. Semuanya adalah
bukti dari kadar kesantrian seorang Bung Tomo.
Yang patut untuk dikemukakan dan dapat kita jadikan teladan dari seorang
Bung Tomo adalah sosoknya yang rendah hati dan selalu ingin tidak terlihat
oleh khalayak. Ia hidup sangat bersahaja. Ia dimakamkan di pemakaman umum
Ngagel, Surabaya. Keputusan itu ditunaikan keluarga demi memenuhi
amanahnya. Negara baru mengakuinya sebagai pahlawan pada 2008, sesaat
setelah GP Ansor mendesak pemerintah untuk mengeluarkan gelar kepahlawanan
atas jasa dan dedikasinya dalam melawan penjajah.
Banyak yang kurang menyadari bahwa Bung Tomo adalah sosok yang kritis bukan
saja kepada penjajah, tapi juga kepada para penguasa, khususnya Orde Baru.
Jiwa antikemapanannya ini adalah bukti sahih bahwa ia adalah pahlawan
sejati yang selalu melandaskan sikap dan gerakannya pada nurani dan kata
hati.
Yang menarik, pada suatu kesempatan, Bung Tomo pernah bilang ia bukanlah
seorang Muslim yang saleh. Bagi saya, pengakuan Bung Tomo adalah pengakuan
yang semakin memperteguh sikap kesantriannya.
Ihwal sikap rendah hati dan sikap kesantriannya itu, saya teringat sebuah
bait kitab Al-Hikam milik Ibnu Athoillah As-Sakadari. Dalam kitab tersebut
disebutkan "udfun wujudaka fi ardhil khumul, fama nabata mimma lam yudfan
la yatimma nitajuhu". Terjemahan bebas dari bait tersebut adalah
"sembunyikanlah dirimu di dalam bumi ketidaktampakan (khumul). Sebab,
sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak ditaman maka tak akan sempurna
buahnya".
Bung Tomo tampaknya adalah sosok yang pas untuk melukiskan bait di atas.
Bung Tomo, tentu saja dengan seluruh kebersahajaannya, adalah sosok yang
memendamkan diri demi ingin mendapatkan buah yang sempurna atas
perjuangannya selama ini.
Mengingat Bung Tomo, menurut hemat saya, juga mengingatkan pada apa yang
pernah dikatakan oleh Soe Hok Gie. Ia pada suatu ketika pernah mengatakan,
"Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan
seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi."
Selamat Hari Pahlawan. []
REPUBLIKA, 09 November 2015
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU)
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
"Andai tak ada takbir, saya tidak tahu dengan cara apa membakar semangat
para pemuda untuk melawan penjajah." (Bung Tomo).
Namanya Sutomo. Panggilan karibnya Bung Tomo. Ia arek Suroboyo asli, lahir
pada 1920 di Surabaya dan meninggal pada 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi,
tatkala sedang menunaikan ibadah haji.
Ia adalah sosok pemuda yang selalu bersemangat dan berai-api dalam
mengemukakan pendapat. Karakter yang demikian itu memang, meminjam analisis
sosiolog Nur Syam (2007), adalah karakter khas masyarakat pesisiran yang
terbuka, egaliter, dan cenderung ekstrover. Dan Sutomo muda adalah
kristalisasi karakter masyarakat khas pesisiran yang menjunjung tinggi
kesetaraan dan antipenjajahan.
Sutomo muda selalu gelisah dengan keadaan yang terjadi pada masa
penjajahan. Ia sangat bersedih melihat banyak ketidakadilan terjadi di
depan matanya. Ia bukan saja menangis, ia bertekad dalam hati bahwa suatu
saat ia akan berbuat demi terbebasnya bangsa dari cengkeraman penjajah.
Tekad itulah yang kelak kemudian hari membawanya pada sebuah sejarah besar
di mana ia menjadi salah satu aktor utamanya. Ya, peristiwa itu adalah
pertempuran dahsyat arek-arek Suroboyo dengan NICA.
Sejarah pertempuran Surabaya yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945
itu menurut Agus Sunyoto (2015) adalah sejarah pertempuran dahsyat yang
pernah terjadi di nusantara. Banyak masyarakat sipil yang terlibat di
dalamnya.
Mereka rata-rata hanya berbekal tekad dan semangat cinta Tanah Air dan agar
terbebas dari segala macam bentuk penjajahan yang sangat merugikan. Dua
bekal itulah yang mereka gamit mati-matian sampai berhasil dengan susah
payah merebut kedaulatan Indonesia yang sesungguhnya.
Sosok religius
Banyak yang belum mengetahui sejarah di balik meletusnya peristiwa 10
November di Surabaya. Ia bukanlah perang yang tanpa sebab musabab. Ia bukan
peristiwa tunggal. Ada banyak latar dan alasan yang menjadi pemantik
semangat pertempuran dan perlawanan itu. Dan tentu saja pemantik utama
perlawanan itu adalah fatwa Resolusi Jihad yang dimotori oleh KH M Hasyim
Asy'ari dan ulama-ulama NU.
Fatwa Resolusi Jihad adalah landasan historis-filosofis yang menjadi bahan
bakar serta energi perlawanan arek-arek Suroboyo sehingga mereka bertindak
tanpa ragu sama sekali. Apalagi, kondisi sosiologi masyarakat Surabaya yang
memang "terbiasa" dengan budaya tawuran, tidak mengherankan jika ada
tawuran yang "diperbolehkan" atas dasar fatwa pemuka agama, maka tentu saja
bisa kita bayangkan bagaimana reaksi mereka. Kalap dan tidak keruan aksinya.
Dalam pusaran momentum Resolusi Jihad itulah sesungguhnya Bung Tomo mulai
banyak diperhitungkan. Ia tercatat beberapa kali sowan kepada KH M Hasyim
Asy'ari ke Tebuireng. Mbah Hasyim--sapaan karib KH M Hasyim Ays'ari--adalah
sosok sepuh yang sangat mengerti potensi. Ia tampaknya membaca bakat
"pembakar semangat" yang ada dan dimiliki oleh Bung Tomo kala itu.
Kedekatannya dengan Mbah Hasyim itulah yang menjadi bukti autentik bahwa
sesungguhnya Bung Tomo adalah sosok santri yang religius dan agamis. Tentu
saja tema santri yang saya maksud bukan santri yang merujuk pada definisi
usang dan keliru yang dibuat oleh Clifford Geertz itu.
Santri dalam hemat saya, sebagaimana dikatakan KH A Mustofa Bisri (2015)
adalah siapa saja yang memiliki akhlak mulia dan memiliki kepatuhan
terhadap agama. Dua kualifikasi itu melekat pada diri Bung Tomo.
Maka jelas dan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Bung Tomo adalah sosok
santri yang religius. Pekikan lafaz Allahu Akbar yang diteriakkannya saat
membakar semangat perlawanan arek-arek Suroboyo adalah bukti lain dari sisi
kesantriannya. Belum lagi, kedisiplinannya dalam beribadah yang
mengantarkannya sebagai seorang Muslim yang disayang Allah sehingga
nyawanya diambil tatkala sedang menunaikan ibadah haji. Semuanya adalah
bukti dari kadar kesantrian seorang Bung Tomo.
Yang patut untuk dikemukakan dan dapat kita jadikan teladan dari seorang
Bung Tomo adalah sosoknya yang rendah hati dan selalu ingin tidak terlihat
oleh khalayak. Ia hidup sangat bersahaja. Ia dimakamkan di pemakaman umum
Ngagel, Surabaya. Keputusan itu ditunaikan keluarga demi memenuhi
amanahnya. Negara baru mengakuinya sebagai pahlawan pada 2008, sesaat
setelah GP Ansor mendesak pemerintah untuk mengeluarkan gelar kepahlawanan
atas jasa dan dedikasinya dalam melawan penjajah.
Banyak yang kurang menyadari bahwa Bung Tomo adalah sosok yang kritis bukan
saja kepada penjajah, tapi juga kepada para penguasa, khususnya Orde Baru.
Jiwa antikemapanannya ini adalah bukti sahih bahwa ia adalah pahlawan
sejati yang selalu melandaskan sikap dan gerakannya pada nurani dan kata
hati.
Yang menarik, pada suatu kesempatan, Bung Tomo pernah bilang ia bukanlah
seorang Muslim yang saleh. Bagi saya, pengakuan Bung Tomo adalah pengakuan
yang semakin memperteguh sikap kesantriannya.
Ihwal sikap rendah hati dan sikap kesantriannya itu, saya teringat sebuah
bait kitab Al-Hikam milik Ibnu Athoillah As-Sakadari. Dalam kitab tersebut
disebutkan "udfun wujudaka fi ardhil khumul, fama nabata mimma lam yudfan
la yatimma nitajuhu". Terjemahan bebas dari bait tersebut adalah
"sembunyikanlah dirimu di dalam bumi ketidaktampakan (khumul). Sebab,
sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak ditaman maka tak akan sempurna
buahnya".
Bung Tomo tampaknya adalah sosok yang pas untuk melukiskan bait di atas.
Bung Tomo, tentu saja dengan seluruh kebersahajaannya, adalah sosok yang
memendamkan diri demi ingin mendapatkan buah yang sempurna atas
perjuangannya selama ini.
Mengingat Bung Tomo, menurut hemat saya, juga mengingatkan pada apa yang
pernah dikatakan oleh Soe Hok Gie. Ia pada suatu ketika pernah mengatakan,
"Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan
seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi."
Selamat Hari Pahlawan. []
REPUBLIKA, 09 November 2015
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU)
--
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."