Discussion:
[ppiindia] Asvi: Menimbang Pahlawan Nasional
Ananto pratikno.ananto@gmail.com [ppiindia]
2015-11-11 04:12:02 UTC
Permalink
Menimbang Pahlawan Nasional

Oleh: Asvi Warman Adam



Sejak tahun 1959 sampai dengan 2014 telah diangkat 163 orang pahlawan
nasional. Berarti, rata-rata tiga orang setiap tahun memperoleh gelar
sangat terhormat tersebut walaupun ada tahun-tahun yang absen atau
sebaliknya panen sampai 14 orang dari unsur "nasakom" (tahun 1964).



Mungkin jumlah pahlawan nasional di Indonesia sekarang ini terbanyak di
dunia walaupun tidak ada salahnya ditambah. Apabila ada seorang pahlawan
yang diteladani oleh 1 juta penduduk, maka kita bisa mengangkat 250 orang.



Mungkin saja ada yang berpendapat perlu diadakan moratorium pengangkatan
pahlawan nasional saat ini sampai 163 pahlawan yang ada disosialisasikan
secara memadai di masyarakat, terutama melalui pelajaran sejarah. Salah
satu contoh, apakah Anda mengenal Pong Tiku, pahlawan nasional dari Toraja?



Kalau daftar pahlawan nasional itu dianggap sebagai album bangsa, tentu ada
representasi berbagai suku, agama, golongan, dan daerah di sana. Namun,
membaca biografi perjuangan para pahlawan nasional tersebut bisa timbul
pertanyaan, apakah sesungguhnya mereka pahlawan "tingkat nasional atau
"tingkat daerah"? Kalau begitu, apakah perlu diangkat "pahlawan daerah"
selain dari "pahlawan nasional"?



Seyogianya kebijakan atau politik pahlawan nasional ini dirumuskan oleh
Dewan Gelar dan Tanda yang terdiri atas tujuh orang tersebut. Seyogianya
dewan ini dipimpin seorang sejarawan dan hanya bertugas maksimal dua
periode (2 x 5 tahun). Demikian pula tim penyeleksi pada Kementerian
Sosial, yakni Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat yang berjumlah 13 orang itu
jangan terus didominasi oleh Pusat Sejarah TNI atau pensiunannya.



Sarat kepentingan



Pengusulan pahlawan nasional ini sarat dan bertumpang tindih kepentingan
daerah, suku, agama, dan golongan, bahkan keluarga. Masing-masing ingin ada
(atau menambah) wakilnya dalam album pahlawan nasional. Pada akhir Orde
Baru, daerah-daerah bersemangat mengusulkan pahlawan mereka, sampai ada
yang menyediakan anggaran untuk itu pada daerah tingkat I dan II. Pada era
Reformasi, yang mencolok adalah usulan dari kalangan agama Islam, terutama
menyangkut tokoh besar yang kebetulan tersangkut kasus PRRI/Permesta.



Militer berprinsip, pemberontak tak boleh jadi pahlawan nasional. Namun,
usaha intensif yang digalang elite Islam, seperti Bachtiar Chamsyah (ketika
itu Menteri Sosial) dan AM Fatwa membuahkah hasil dengan diangkatnya M
Natsir dan Sjafrudin Prawiranegara jadi pahlawan nasional. Tentu sebagai
konsekuensinya dalam pengajaran sejarah nasional selanjutnya masalah
pemberontakan itu tak bisa lagi dilihat sebagai hitam-putih.



Persoalan lain yang dilematis adalah pencalonan Soeharto sebagai pahlawan
nasional. Ada pihak yang pro dan kontra. Yang mendukung memberi alasan
kesuksesan pembangunan selama 30 tahun. Kelompok penentang menyodorkan
pelanggaran HAM berat yang terjadi semasa Orde Baru, yang jadi tanggung
jawab Soeharto. Demikian pula dengan Abdurrahman Wahid, jika ia diangkat
sekarang tentu timbul pertanyaan kenapa Gus Dur lebih dulu daripada
Soeharto. Pengalaman yang lalu, Soekarno menjadi pahlawan proklamator baru
16 tahun setelah wafat. Dari sini dapat disimpulkan, lebih tepat presiden
tidak/belum mengangkat pahlawan nasional para tokoh yang masih menjadi
kontroversi.



Kalau begitu, siapa yang didahulukan menjadi pahlawan nasional? Menurut
hemat saya, pertama, bergantung pada pesan yang ingin disampaikan
pemerintah. Kalau pemerintah mau menegaskan memperhatikan jender, tentu
perempuan (Rohana Kudus, SK Trimurti, dan lain-lain) yang diangkat jadi
pahlawan nasional karena saat ini baru 12 orang dari 163 yang sudah
diangkat. Jika ingin menekankan pentingnya nilai anti korupsi, angkatlah
pahlawan nasional yang cocok untuk ikon tersebut, seperti Jenderal (Pol)
Hoegeng Iman Santoso.



Sepak bola nasional Indonesia sesungguhnya adalah sepak bola perjuangan
tanpa pamrih, nobatkanlah pendirinya, Soeratin, sebagai pahlawan. Jika mau
keterwakilan semua etnis, sudah ada Tionghoa yang jadi pahlawan, seperti
John Lie, kenapa AR Baswedan yang keturunan Arab tidak kunjung diangkat?



Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah tonggak sejarah Indonesia yang teramat
penting bersama dengan proklamasi. Panitia penyelenggaranya sudah diganjar
pahlawan, seperti M Yamin (sekretaris), Johanes Leimena (pembantu umum), WR
Soepratman (pencipta lagu "Indonesia Raya"). Namun, ironisnya, Soegondo
Djojopoespito sebagai Ketua Panitia Kongres Pemuda II yang melahirkan
Sumpah Pemuda itu belum diangkat sampai sekarang. Semoga proses
pengangkatan pahlawan nasional ini lebih tertata dengan baik di masa
mendatang. []



KOMPAS, 10 November 2015

Asvi Warman Adam | Sejarawan LIPI
--
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
Loading...