Discussion:
[ppiindia] Moeldoko: Kebangkitan Pahlawan
Ananto pratikno.ananto@gmail.com [ppiindia]
2015-11-11 02:45:47 UTC
Permalink
Kebangkitan Pahlawan

Oleh: Moeldoko



"Hentikan Gambang, Allah Maha Besar. Gambang, sudahlah, ayahmu (Teuku Umar)
telah syahid. Gambang, sebagai perempuan Aceh, pantang meneteskan air mata
untuk orang yang telah syahid di medan perang. Bangkitlah! Agar arwah
ayahmu tenang. Perjuangan kita masih panjang Gambang.."



Begitulah ucapan Tjoet Nyak Dhien terbata-bata dengan meneteskan air
mata-diperankan sangat baik oleh Christine Hakim tahun 1988-kepada
putrinya, Tjoet Gambang, ketika Teuku Umar wafat saat merebut Meulaboh.



Seakan mendahului program bela negara yang sempat diwacanakan pemerintah
beberapa waktu lalu, kesadaran tentang bangkitnya berbangsa seolah kembali
digairahkan oleh kalangan sineas kita setelah lebih dari 22 tahun vakum.
Masih melalui film epik tentang kepahlawanan, selanjutnya hadir Ahmad
Dahlan dalam Sang Pencerah (2010), Albertus Soegijapranata dalam Soegija
(2012), Soekarno dalam film dengan judul nama yang sama (2013),
Tjokroaminoto dalam Guru Bangsa (April, 2015), dan film tentang sosok
Jenderal Soedirman yang rilis tepat pada peringatan kemerdekaan 17 Agustus
2015.



Memang, memaknai kedalaman hadirnya sosok pahlawan nasional sangat
bergantung pada persepsi seseorang. Namun, ada satu pandangan dan semangat
sama yang dihadirkan para sineas tersebut saat berbicara tentang pahlawan
nasional kita: bahwa pahlawan adalah mimbar sekaligus narasi bagi mereka
yang memilih mengorbankan jiwa untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri
mereka sendiri, bahkan lebih besar daripada negara dan tanah air mereka.



Sudah seharusnya kisah tentang kepahlawanan mampu menjadi oase yang
menampung kejernihan dalam merefleksikan kisah wajah patriotisme dengan
senjatanya untuk pencapaian sebuah cita-cita berbangsa dan bernegara, yang
sekaligus mendaur berlapis-lapis ragam tentang nilai keberanian dan
pengorbanan. Film-film yang tak melibatkan kehadiran negara tersebut,
kecuali barangkali Jenderal Soedirman yang produksinya dibantu TNI AD, juga
mampu hadir sebagai alat penolak aneksasi bangsa lain. Mereka hadir sebagai
upaya meremajakan kembali pengertian tentang hati dan jiwa para pahlawan
yang selama ini dipelihara secara klise melalui kisah-kisah legenda,
sejarah, dan mitos.



Setiap merayakan Hari Pahlawan, tampaknya kita perlu memaknai dengan
konteks kekiniannya. Mengapa para pahlawan berjuang secara total dan berani
mempertaruhkan jiwa raga? Nilai apa di balik pengorbanan yang luhur dan
mulia itu? Jika dihayati dengan jernih, sejatinya mereka hanya ingin
generasi penerus menikmati hak dasar manusia serta terbebas dari kemiskinan
dan kebodohan. Makna lebih jauh lagi: sebuah visi besar, masa depan bangsa
Indonesia sudah selayaknya berada dalam sebuah bingkai negara yang
sejahtera, adil, makmur, dan aman.



Musuh baru



Saat ini zaman sudah bergerak maju dengan tingkat persaingan yang begitu
kompleks. Perubahan yang terjadi bak turbulensi, begitu cepat dan terkadang
sangat mengejutkan. Untuk menghadapi efek guncangannya, semangat
kepahlawanan sangat penting dan menentukan. Sebab, salah satu kunci
menghadapi masa sekarang dan masa depan adalah perjuangan secara total dan
tidak setengah-setengah.



Memang situasinya berbeda. Paradigma tentang perang pun telah berubah. Dulu
para pejuang menggunakan fisik dan kekuatan senjata dengan bertaruh jiwa
raga. Perang sekarang sudah berubah wujud dengan medan tempur berbeda:
tidak nyata, tanpa wilayah, serta bisa terjadi di mana saja dengan aktor
negara (state)atau bukan. Pemerannya bisa terkamuflase melalui berbagai
bentuk.



Sekarang era perang kebudayaan yang bentuknya kompleks dan mengerikan.
Salah satu cirinya adalah menyenangkan korban. Tampak aneh, tetapi
begitulah kenyataannya. Para korban narkoba merasa nikmat, padahal mereka
korban. Demikian pula anak-anak kita lebih senang memilih artis dan
restoran bermerek asing dibandingkan produk dalam negeri.



Di sisi lain, kesadaran tentang hak asasi manusia juga semakin kuat.
Perjuangan akan kebenaran, kebaikan, cinta, dan kasih makin kencang, tetapi
perilaku sadis dan kejam terhadap sesama manusia tetap terjadi. Kita semua
seolah terperangkap dalam kondisi seperti ini dan kita kurang menyadari
bahwa kekuatan kita semakin dilemahkan.



Sebagai generasi penerus para pahlawan, memberikan konteks kekinian atas
nilai-nilai heroik mereka menjadi penting. Dalam mewujudkan harapan itu,
sekarang kita juga dihadapkan pada kondisi persaingan yang sangat ketat.
Keinginan tatanan masyarakat yang sejahtera dan aman tentu bukan keinginan
kita semata karena bangsa lain pun juga terus berupaya untuk memenuhi
kesejahteraan bangsanya.



Di masa depan, kita akan masih berhadapan dengan berbagai tantangan.
Menurut James Canton dalam The Extreme Future, ada lima penentu masa depan:
(1) perubahan (change), (2) kecepatan (speed), (3) risiko (risk), (4)
kompleksitas, dan (5) sering mengejutkan (surprise). Dalam menghadapi
situasi ini, kita memang harus antisipatif dengan tak henti melahirkan
terobosan dengan beragam bentuk inovasi.



Mengejar kesempatan



Tahun ini, Global Innovation Index mencatat peringkat negara kita di posisi
ke-97 dari 147 negara, kalah jauh dari Singapura yang berada di peringkat
ke-7. Di tingkat regional lain, tetangga kita Malaysia di peringkat ke-32,
Vietnamke-52, dan Thailand ke-55. Yang paling mengkhawatirkan laporan pada
Innovation Output Sub-Index: kita di peringkat ke-85 yang berimplikasi pada
rendahnya keluaran ilmu pengetahuan dan teknologi (di posisi ke-100) dan
keluaran kreatif (di posisi ke-78).



Hal yang sungguh penting untuk mengatasi ketertinggalan ini adalah
kehadiran negara untuk segera membangun ekosistem inovasi yang sehat di
negara kita. Salah satu peran utama adalah meningkatkan pemberdayaan
institusi yang masih di peringkat ke-130 serta sumber daya manusia dan
riset yang berada di peringkat ke-87. Sudah tidak ada alasan lagi bagi para
inovator bahwa kita sulit mengurus paten dan tergoda mendaftarkan penemuan
baru di luar negeri.



Dulu Singapura berusaha menarik sebanyak mungkin uang dari Indonesia.
Sekarang mereka sudah berubah dengan berusaha menarik manusia-manusia
unggul kita untuk menjadi bagian dari pembangunan negara mereka. Mereka
serasa tak pernah henti untuk terus meningkatkan inovasi dengan berbagai
cara dan kita seakan tak kuasa untuk berbuat sesuatu. Dalam menyikapi ini,
kita tentu harus terus berjuang dengan meningkatkan kemampuan dan berperan
aktif dalam persaingan global.



Masalah kita tentu bukan hanya inovasi. Kita masih menyimpan dua persoalan
utama: stabilitas dan keterbukaan. Stabilitas menuntut toleransi dari
berbagai sisi, sementara keterbukaan adalah ruh dari demokrasi. Peristiwa
di Papua dan Aceh baru-baru ini sungguh menyadarkan bahwa kita harus
belajar lagi tentang toleransi, sementara demokrasi kita memang masih
berusia belia. Sebagai mantan Panglima TNI, saya pernah merasakan bagaimana
rumitnya bermain di ruang sempit di antara keduanya dengan harus tetap
menjaga keseimbangan nilai-nilai kedua hal tersebut.



Mengingat kondisi tersebut, saya sepakat program bela negara masih
kontekstual dilaksanakan untuk memberikan penyadaran bahwa bangsa ini bisa
menjadi besar jika kita memiliki kedisiplinan serta visi yang kuat seperti
yang dicontohkan oleh para pahlawan kita. Disiplin yang kuat, visi yang
jauh ke depan, serta semangat juang yang tak pernah menyerah akan
menghasilkan karya yang inovatif untuk memulai hadirnya kemakmuran sebuah
bangsa. Hal ini telah dibuktikan oleh 180 animator anak bangsa, yang dengan
segala totalitas menghadirkan film Battle of Surabaya, yang dirilis tiga
hari setelah film Jenderal Soedirman tayang di bioskop.



Film ini merupakan film animasi 2D dengan tema sejarah bangsa yang gaungnya
mampu memberi sesuatu yang baru untuk film bergenre anime di Indonesia.
Seolah mewarisi semangat juang Bung Tomo dan kawan-kawan, waktu tayang film
Battle of Surabaya berani bersaing merebut penonton dengan film animasi
Inside Out produksi Pixar yang distribusinya ditangani Walt Disney
Pictures.



Meski seolah berakhir dengan kalahnya pertempuran dalam jumlah perolehan
penonton-padahal bertempur di area sendiri dengan segala macam propaganda
yang melibatkan emosi nasionalisme-paling tidak karya keroyokan anak-anak
muda kita menyisakan sebuah harapan yang menyertakan renungan baru.



Harapannya adalah kita telah memiliki contoh generasi muda yang berani
mengejar kesempatan untuk menjadi pahlawan dengan berbuat sesuatu yang
inovatif bagi kemakmuran bangsa dan negara. Dan, sekaligus meninggalkan
renungan: kenapa para patriot kita kini sering kalah dalam bersaing meski
segala tumpah darah telah diupayakan secara maksimal? Jawaban saya
sederhana. Kita kalah berperang bukan karena musuh kita yang kuat, tetapi
lebih karena kita yang lemah. Namun, kita harus selalu bangkit, seperti
pesan Tjoet Nyak Dhien kepada anaknya. []



KOMPAS, 10 November 2015

Moeldoko | Jenderal (Purn) TNI; Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia
--
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
Loading...