Ananto pratikno.ananto@gmail.com [ppiindia]
2015-11-10 02:57:22 UTC
Celakanya, pembenci yang sakit akut jari-jarinya terus gatal kalau tak
memencet handphone untuk menyebar kebencian di media sosial. Memang
meresahkan juga. Keresahan ini yang membahayakan dan dalam skala tertentu
bisa menimbulkan ketegangan, apalagi kalau topik kebencian itu menyangkut
suku, agama, dan ras. Kalau demikian halnya, surat edaran hate speech itu
anggap saja menugasi polisi mengambil alih peran pemuka agama untuk
mendidik masyarakat agar santun, khususnya masyarakat media sosial.
salam,
ananto
=====
Kebencian
Oleh: Putu Setia
Kebencian itu kata sifat. Orang yang punya sifat suka membenci orang lain,
lalu menyemai sifat buruknya itu setiap saat, kebenciannya makin subur.
Apalagi kalau kebenciannya itu diujarkan setiap saat, baik lewat kata-kata
maupun tulisan, lengkaplah sifat buruk itu disandang. Kebencian yang
diujarkan harus dicegah agar masyarakat menjadi santun. Polisi sudah
berbaik hati melawan "ujaran kebencian", tugas yang sesungguhnya lebih
layak disandang pemuka agama dan pendidik budi pekerti.
Bukankah ajaran agama tidak membolehkan orang membenci? Setiap kali hendak
berujarââ¬âistilah "ujar" jadi trending topic sekarangââ¬âkita harus selalu
mempertimbangkan baik-buruknya dan memikirkan sebab-akibatnya. Dalam bahasa
Sanskerta, berujar yang baik itu disebut wacika dan sumbernya datang dari
manacika (berpikir yang baik). Pikiran itulah yang harus dibersihkan lebih
dulu, dan itulah tugas agamawan.
Para pembenci itu sesungguhnya juga para perindu, kata orang bijak.
Misalnya, jika ada orang yang membenci Joko (ini sekadar contoh dan bukan
nama sebenarnya), pembenci itu akan selalu memperhatikan Joko. Apa pun yang
Joko kerjakan, apa pun yang ia katakan, ke mana pun Joko pergi, selalu
diikuti beritanya agar punya bahan untuk melakukan "ujaran kebencian". Joko
tak bisa datang ke Amerika untuk berpidato, dikecam kenapa tak datang. Pas
Joko pergi ke Amerika juga dikecam. Rupiah melemah, itu salah Joko. Truk
terguling juga salah Joko. Bandara Ngurah Rai ditutup dan Wakil Presiden
India "telantar" di Bali, juga salahnya Joko. Pembenci itu selalu
mengaitkan kesalahan pada Joko, padahal dia tahu bandara itu ditutup karena
Gunung Rinjani meletus. Artinya, dia selalu rindu kepada Joko, seperti
lirik lagu Benci tapi Rindu.
Benci itu sebuah penyakit, dan pembenci harus diobati tanpa resep dokter
supaya tak ada suap untuk dokter. Bagaimana mengobatinya? Dia harus diberi
pemahaman bahwa seseorang punya kelemahan dan kekuatan, punya kelebihan dan
kekurangan, pernah berbuat salah dan benar. Tak ada manusia yang sempurna
karena kita sepakat yang sempurna itu hanya Tuhan. Janganlah yang benar
dari Joko kita sembunyikan, kelebihan dan kekuatannya kita lupakan. Bawalah
cermin ke mana-mana. Sebelum melakukan ritual "ujaran kebencian",
becerminlah dulu: apakah kita lebih baik?
Jika polisi turun tangan melawan "ujaran kebencian", sesungguhnya itu
pertanda bahwa bangsa ini sudah merosot keberadabannya karena gerakan
polisi itu lebih pada masalah moral. Kebencian yang diujarkan itu
sebenarnya sudah diatur dalam ranah hukum. Korban bisa mengadu karena
namanya dicemarkan. Dalam bahasa keren, disebut delik aduan. Yang menjadi
masalah, ada korban yang tak mau mengadu karena repot. Apalagi kalau korban
itu seorang ulama atau pendeta, misalnya, yang lebih baik memaafkan sang
pembenci atau mendoakan sang pembenci agar kembali ke "ujaran kebenaran".
Celakanya, pembenci yang sakit akut jari-jarinya terus gatal kalau tak
memencet handphone untuk menyebar kebencian di media sosial. Memang
meresahkan juga. Keresahan ini yang membahayakan dan dalam skala tertentu
bisa menimbulkan ketegangan, apalagi kalau topik kebencian itu menyangkut
suku, agama, dan ras. Kalau demikian halnya, surat edaran hate speech itu
anggap saja menugasi polisi mengambil alih peran pemuka agama untuk
mendidik masyarakat agar santun, khususnya masyarakat media sosial. Seperti
kata Kepala Kepolisian Badrodin Haiti, janganlah ditanggapi berlebihan
sebagai pengekangan kebebasan berpendapat. Sepakat. []
TEMPO, 7 November 2015
Putu Setia | Pengarang, Wartawan Senior Tempo
memencet handphone untuk menyebar kebencian di media sosial. Memang
meresahkan juga. Keresahan ini yang membahayakan dan dalam skala tertentu
bisa menimbulkan ketegangan, apalagi kalau topik kebencian itu menyangkut
suku, agama, dan ras. Kalau demikian halnya, surat edaran hate speech itu
anggap saja menugasi polisi mengambil alih peran pemuka agama untuk
mendidik masyarakat agar santun, khususnya masyarakat media sosial.
salam,
ananto
=====
Kebencian
Oleh: Putu Setia
Kebencian itu kata sifat. Orang yang punya sifat suka membenci orang lain,
lalu menyemai sifat buruknya itu setiap saat, kebenciannya makin subur.
Apalagi kalau kebenciannya itu diujarkan setiap saat, baik lewat kata-kata
maupun tulisan, lengkaplah sifat buruk itu disandang. Kebencian yang
diujarkan harus dicegah agar masyarakat menjadi santun. Polisi sudah
berbaik hati melawan "ujaran kebencian", tugas yang sesungguhnya lebih
layak disandang pemuka agama dan pendidik budi pekerti.
Bukankah ajaran agama tidak membolehkan orang membenci? Setiap kali hendak
berujarââ¬âistilah "ujar" jadi trending topic sekarangââ¬âkita harus selalu
mempertimbangkan baik-buruknya dan memikirkan sebab-akibatnya. Dalam bahasa
Sanskerta, berujar yang baik itu disebut wacika dan sumbernya datang dari
manacika (berpikir yang baik). Pikiran itulah yang harus dibersihkan lebih
dulu, dan itulah tugas agamawan.
Para pembenci itu sesungguhnya juga para perindu, kata orang bijak.
Misalnya, jika ada orang yang membenci Joko (ini sekadar contoh dan bukan
nama sebenarnya), pembenci itu akan selalu memperhatikan Joko. Apa pun yang
Joko kerjakan, apa pun yang ia katakan, ke mana pun Joko pergi, selalu
diikuti beritanya agar punya bahan untuk melakukan "ujaran kebencian". Joko
tak bisa datang ke Amerika untuk berpidato, dikecam kenapa tak datang. Pas
Joko pergi ke Amerika juga dikecam. Rupiah melemah, itu salah Joko. Truk
terguling juga salah Joko. Bandara Ngurah Rai ditutup dan Wakil Presiden
India "telantar" di Bali, juga salahnya Joko. Pembenci itu selalu
mengaitkan kesalahan pada Joko, padahal dia tahu bandara itu ditutup karena
Gunung Rinjani meletus. Artinya, dia selalu rindu kepada Joko, seperti
lirik lagu Benci tapi Rindu.
Benci itu sebuah penyakit, dan pembenci harus diobati tanpa resep dokter
supaya tak ada suap untuk dokter. Bagaimana mengobatinya? Dia harus diberi
pemahaman bahwa seseorang punya kelemahan dan kekuatan, punya kelebihan dan
kekurangan, pernah berbuat salah dan benar. Tak ada manusia yang sempurna
karena kita sepakat yang sempurna itu hanya Tuhan. Janganlah yang benar
dari Joko kita sembunyikan, kelebihan dan kekuatannya kita lupakan. Bawalah
cermin ke mana-mana. Sebelum melakukan ritual "ujaran kebencian",
becerminlah dulu: apakah kita lebih baik?
Jika polisi turun tangan melawan "ujaran kebencian", sesungguhnya itu
pertanda bahwa bangsa ini sudah merosot keberadabannya karena gerakan
polisi itu lebih pada masalah moral. Kebencian yang diujarkan itu
sebenarnya sudah diatur dalam ranah hukum. Korban bisa mengadu karena
namanya dicemarkan. Dalam bahasa keren, disebut delik aduan. Yang menjadi
masalah, ada korban yang tak mau mengadu karena repot. Apalagi kalau korban
itu seorang ulama atau pendeta, misalnya, yang lebih baik memaafkan sang
pembenci atau mendoakan sang pembenci agar kembali ke "ujaran kebenaran".
Celakanya, pembenci yang sakit akut jari-jarinya terus gatal kalau tak
memencet handphone untuk menyebar kebencian di media sosial. Memang
meresahkan juga. Keresahan ini yang membahayakan dan dalam skala tertentu
bisa menimbulkan ketegangan, apalagi kalau topik kebencian itu menyangkut
suku, agama, dan ras. Kalau demikian halnya, surat edaran hate speech itu
anggap saja menugasi polisi mengambil alih peran pemuka agama untuk
mendidik masyarakat agar santun, khususnya masyarakat media sosial. Seperti
kata Kepala Kepolisian Badrodin Haiti, janganlah ditanggapi berlebihan
sebagai pengekangan kebebasan berpendapat. Sepakat. []
TEMPO, 7 November 2015
Putu Setia | Pengarang, Wartawan Senior Tempo
--
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."