Ananto pratikno.ananto@gmail.com [ppiindia]
2015-11-11 03:36:47 UTC
Kampoeng BNI di Pulau Buru
Oleh: Rhenald Kasali
Saya ajak Anda menengok ke sebuah pulau di belahan timur Indonesia. Namanya
Pulau Buru. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama pulau ini?
Mungkin ada beberapa.
Pertama, pulau yang dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik Orde
Baru, yang hidup bersama-sama dengan para transmigran asal Jawa.
Kedua, mungkin Pramoedya Ananta Toer, salah seorang tahanan politik yang
diasingkan ke Pulau Buru. Selama di sana, Pram, begitu panggilannya,
menulis beberapa novel semifiksi. Di antaranya Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu dan Arus Balik. Pram terkenal karena pemikirannya yang kritis
dan korektif terhadap Orde Baru.
Sampai saat ini, kalau berkunjung ke sana, saya masih bertemu rekan-rekan
Pram yang sudah tak memiliki sanak keluarga di Pulau Jawa dan memilih
tinggal di sana.
Sambil ngopi di sore hari, kadang mereka bercerita tentang hari-hari
panjang dalam tahanan dan bagaimana mereka menyelamatkan manuskrip karya
Pram.
Namun sesungguhnya yang membuat karya-karyanya menjadi terkenal adalah
kekhawatiran berlebihan dari Orde Baru sehingga melalui Kejaksaan Agung,
pemerintahan Soeharto melarang peredaran karya-karya Pram.
Masyarakat negeri kita itu unik. Jika ada sesuatu yang dilarang, ia malah
dicari-cari. Begitu pula dengan karya-karya Pram. Kini, setelah semua karya
Pram bebas beredar di toko-toko buku dan pemikirannya menginspirasi banyak
orang, ternyata tak terjadi gejolak di masyarakat kita. Juga biasa saja
responsnya.
Tumbuh di Atas Emas
Baiklah kita kembali ke Pulau Buru. Ketiga, pulau ini terkenal dengan pohon
kayu putihnya. Itu sebabnya minyak kayu putih buatan Pulau Buru sangat
disukai. Harum dan hangatnya tahan lama.
Keempat, ini yang menjadi kepedulian saya, hadirnya emas yang bukan hanya
memicu kerusakan lingkungan di sana, tetapi juga menyebabkan terjadinya
perubahan sosial besar-besaran. Di Pulau Buru, emas semula hanya ditemukan
di kawasan Gunung Botak. Tapi, belakangan, emas juga ditemukan di empat
kawasan lain.
Hadirnya emas membuat para petani dan anak-anaknya meninggalkan sawah dan
ladang mereka. Emas yang dikelola penambang liar diolah dengan menggunakan
air raksa dan merkuri. Penggunaan dua bahan kimia itu membuat sungai-sungai
dan pantai tercemar. Di Teluk Kayeli di Kabupaten Buru, banyak ikan yang
mati akibat tercemar oleh air raksa dan merkuri. Masyarakat luar mendengar
kabar ini. Mereka pun enggan membeli ikan dari nelayan-nelayan di Pulau
Buru. Nelayan di sana pun merana.
Emas memanjakan mimpi masyarakat adat yang ingin kaya mendadak. Anak-anak
remaja meninggalkan bangku sekolah untuk berburu emas. Mereka yang
beruntung menemukan emas segera membangun rumah-rumah baru di atas lahan
sawah yang terus menyusut akibat ditinggalkan petani dan anak-anaknya.
Mereka membeli sepeda motor dan berbagai barang elektronik lainnya.
Adapun yang lainnya mati terkubur timbunan lubang-lubang tambang. Bersamaan
dengan itu, tak jarang terjadi konflik. Perang antarsuku nyaris pecah.
Sementara penyakit seksual menular pun marak karena para cukong perlu
menjaga stamina buruh-buruh bawaannya yang didatangkan dari jauh.
Itulah potret perubahan sosial di Pulau Buru. Pohon kayu putih yang tumbuh
di atas emas itu perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Bahkan tanahnya digerus
karena dicurigai ada emas di bawahnya. Padahal, pohon kayu putih tumbuh
alami, pemberian Tuhan yang tak perlu dibibitkan. Perubahan itu hingga kini
masih terus bergulir dan saya tidak tahu sampai di mana ujungnya.
Tapi, sejujurnya, saya merasa sangat tidak nyaman dengan perubahan yang
berakibat buruk dan terus terjadi akibat adanya pembiaran. Lalu, mesti
bagaimana?
Kampoeng BNI
Melalui Rumah Perubahan, sudah sejak beberapa tahun lalu kami mulai
terlibat dalam sejumlah aktivitas pemberdayaan masyarakat di Pulau Buru.
Beruntung saya mendapatkan dukungan dari Bank BNI Tbk. Bersama-sama kami
mengembangkan Kampoeng BNI (KBNI) di Pulau Buru. Saya paparkan apa saja
yang sudah dan akan kami kerjakan di sana.
Bank BNI, melalui kegiatan *corporate social responsibility* (CSR)-nya,
mendonasikan lebih dari seratus ekor sapi untuk menambah sapi-sapi yang
sudah kami pelihara bersama masyarakat. Anda tahu, kegiatan CSR semacam ini
kalau landasannya hanya *charity*, hasilnya akan langsung menguap. Hilang
tanpa bekas.
Untungnya Bank BNI tidak begitu. Konsepnya adalah pengembangan komunitas *grass
root*. Untuk mengelola sapi-sapi bantuan Bank BNI tersebut, kami pun
menerapkan *sistem gaduh*. Apa itu? Sederhana saja. Sapi-sapi itu kami
titipkan kepada keluarga-keluarga yang ada di sana untuk dipelihara. Ketika
berkembang biak, anak pertama dari sapi tersebut menjadi jatah mereka.
Ketika sapi tersebut melahirkan lagi, anak keduanya kami jadikan modal
bergulir, dipinjamkan lagi ke keluarga yang belum memperoleh bagian. Begitu
seterusnya.
Sistem gaduh sapi ini tidak berdiri sendiri. Kami juga mengajari masyarakat
di sana untuk memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber bahan baku biogas.
Biogas itu dijadikan sumber energi yang dipakai untuk penerangan dan bahkan
memasak.
Saat ini kami sedang membangun instalasi penyulingan minyak kayu putih
kedua dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakarnya. Kelak, kalau ingin
menyuling minyak kayu putih, mereka tak perlu menebangi pohon hanya untuk
mendapatkan kayunya. Jadi, akan jauh lebih efisien, karena tak perlu
mengeluarkan biaya untuk bahan bakar.
Itulah, antara lain, yang kami lakukan di Pulau Buru melalui konsep
Kampoeng BNI. Di luar itu, Anda akan dengan mudah menemukan
kampoeng-kampoeng lain yang dikembangkan BNI di berbagai daerah di
Indonesia. Di Subang, misalnya, ada KBNI Peternakan Sapi. Di Ciamis ada
KBNI jagung manis. Di Rembang ada KBNI Batik Lasem Rembang, lalu KBNI Ikan
Nila di Ponorogo, dan seterusnya. Daftarnya sangat panjang.
Saya punya catatan soal ini. Kalau melihat konsepnya, KBNI setidak-tidaknya
memiliki dua kata kunci. Pertama, KBNI adalah program pemberdayaan
masyarakat melalui penyaluran kredit atau bantuan lainnya dengan sistem
kluster. Melalui sistem ini, setiap kluster kelak diharapkan memiliki
berbagai macam produk unggulan yang menjadi ciri khas suatu daerah. Pulau
Buru, misalnya, akan memiliki minyak kayu putih sebagai produk unggulannya.
Kata kunci kedua dibangun atas prinsip *community enterprise*. Apa itu? Apa
bedanya dengan *social enterprise*? *Social enterprise* adalah wirausaha
sosial, tetapi didirikan dan dimiliki oleh individu. Sementara *community
enterprise* adalah lembaga wirausaha yang didirikan dan dimiliki oleh
komunitas. Lembaga ini bertujuan menyelesaikan sendiri permasalahan yang
mereka hadapi. Kalau mau disederhanakan, konsep *community enterprise* ini
agak mirip dengan koperasi. Dengan konsep kluster dan komunitas, tak
mengherankan kalau kita menemukan KBNI ada di mana-mana, sebagaimana sudah
saya sebutkan sebagian di atas.
Dan saya berharap daftar KBNI akan terus bertambah panjang dan menyebar di
mana-mana. Kita perlu menjaga terus ârohâ BUMN sebagai agen pembangunan dan
saya senang Menteri BUMN kita tak melupakan peran ini, apalagi itu di
Indonesia timur yang telah banyak memberi tanpa pernah meminta. []
KORAN SINDO, 05 November 2015
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
Oleh: Rhenald Kasali
Saya ajak Anda menengok ke sebuah pulau di belahan timur Indonesia. Namanya
Pulau Buru. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama pulau ini?
Mungkin ada beberapa.
Pertama, pulau yang dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik Orde
Baru, yang hidup bersama-sama dengan para transmigran asal Jawa.
Kedua, mungkin Pramoedya Ananta Toer, salah seorang tahanan politik yang
diasingkan ke Pulau Buru. Selama di sana, Pram, begitu panggilannya,
menulis beberapa novel semifiksi. Di antaranya Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu dan Arus Balik. Pram terkenal karena pemikirannya yang kritis
dan korektif terhadap Orde Baru.
Sampai saat ini, kalau berkunjung ke sana, saya masih bertemu rekan-rekan
Pram yang sudah tak memiliki sanak keluarga di Pulau Jawa dan memilih
tinggal di sana.
Sambil ngopi di sore hari, kadang mereka bercerita tentang hari-hari
panjang dalam tahanan dan bagaimana mereka menyelamatkan manuskrip karya
Pram.
Namun sesungguhnya yang membuat karya-karyanya menjadi terkenal adalah
kekhawatiran berlebihan dari Orde Baru sehingga melalui Kejaksaan Agung,
pemerintahan Soeharto melarang peredaran karya-karya Pram.
Masyarakat negeri kita itu unik. Jika ada sesuatu yang dilarang, ia malah
dicari-cari. Begitu pula dengan karya-karya Pram. Kini, setelah semua karya
Pram bebas beredar di toko-toko buku dan pemikirannya menginspirasi banyak
orang, ternyata tak terjadi gejolak di masyarakat kita. Juga biasa saja
responsnya.
Tumbuh di Atas Emas
Baiklah kita kembali ke Pulau Buru. Ketiga, pulau ini terkenal dengan pohon
kayu putihnya. Itu sebabnya minyak kayu putih buatan Pulau Buru sangat
disukai. Harum dan hangatnya tahan lama.
Keempat, ini yang menjadi kepedulian saya, hadirnya emas yang bukan hanya
memicu kerusakan lingkungan di sana, tetapi juga menyebabkan terjadinya
perubahan sosial besar-besaran. Di Pulau Buru, emas semula hanya ditemukan
di kawasan Gunung Botak. Tapi, belakangan, emas juga ditemukan di empat
kawasan lain.
Hadirnya emas membuat para petani dan anak-anaknya meninggalkan sawah dan
ladang mereka. Emas yang dikelola penambang liar diolah dengan menggunakan
air raksa dan merkuri. Penggunaan dua bahan kimia itu membuat sungai-sungai
dan pantai tercemar. Di Teluk Kayeli di Kabupaten Buru, banyak ikan yang
mati akibat tercemar oleh air raksa dan merkuri. Masyarakat luar mendengar
kabar ini. Mereka pun enggan membeli ikan dari nelayan-nelayan di Pulau
Buru. Nelayan di sana pun merana.
Emas memanjakan mimpi masyarakat adat yang ingin kaya mendadak. Anak-anak
remaja meninggalkan bangku sekolah untuk berburu emas. Mereka yang
beruntung menemukan emas segera membangun rumah-rumah baru di atas lahan
sawah yang terus menyusut akibat ditinggalkan petani dan anak-anaknya.
Mereka membeli sepeda motor dan berbagai barang elektronik lainnya.
Adapun yang lainnya mati terkubur timbunan lubang-lubang tambang. Bersamaan
dengan itu, tak jarang terjadi konflik. Perang antarsuku nyaris pecah.
Sementara penyakit seksual menular pun marak karena para cukong perlu
menjaga stamina buruh-buruh bawaannya yang didatangkan dari jauh.
Itulah potret perubahan sosial di Pulau Buru. Pohon kayu putih yang tumbuh
di atas emas itu perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Bahkan tanahnya digerus
karena dicurigai ada emas di bawahnya. Padahal, pohon kayu putih tumbuh
alami, pemberian Tuhan yang tak perlu dibibitkan. Perubahan itu hingga kini
masih terus bergulir dan saya tidak tahu sampai di mana ujungnya.
Tapi, sejujurnya, saya merasa sangat tidak nyaman dengan perubahan yang
berakibat buruk dan terus terjadi akibat adanya pembiaran. Lalu, mesti
bagaimana?
Kampoeng BNI
Melalui Rumah Perubahan, sudah sejak beberapa tahun lalu kami mulai
terlibat dalam sejumlah aktivitas pemberdayaan masyarakat di Pulau Buru.
Beruntung saya mendapatkan dukungan dari Bank BNI Tbk. Bersama-sama kami
mengembangkan Kampoeng BNI (KBNI) di Pulau Buru. Saya paparkan apa saja
yang sudah dan akan kami kerjakan di sana.
Bank BNI, melalui kegiatan *corporate social responsibility* (CSR)-nya,
mendonasikan lebih dari seratus ekor sapi untuk menambah sapi-sapi yang
sudah kami pelihara bersama masyarakat. Anda tahu, kegiatan CSR semacam ini
kalau landasannya hanya *charity*, hasilnya akan langsung menguap. Hilang
tanpa bekas.
Untungnya Bank BNI tidak begitu. Konsepnya adalah pengembangan komunitas *grass
root*. Untuk mengelola sapi-sapi bantuan Bank BNI tersebut, kami pun
menerapkan *sistem gaduh*. Apa itu? Sederhana saja. Sapi-sapi itu kami
titipkan kepada keluarga-keluarga yang ada di sana untuk dipelihara. Ketika
berkembang biak, anak pertama dari sapi tersebut menjadi jatah mereka.
Ketika sapi tersebut melahirkan lagi, anak keduanya kami jadikan modal
bergulir, dipinjamkan lagi ke keluarga yang belum memperoleh bagian. Begitu
seterusnya.
Sistem gaduh sapi ini tidak berdiri sendiri. Kami juga mengajari masyarakat
di sana untuk memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber bahan baku biogas.
Biogas itu dijadikan sumber energi yang dipakai untuk penerangan dan bahkan
memasak.
Saat ini kami sedang membangun instalasi penyulingan minyak kayu putih
kedua dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakarnya. Kelak, kalau ingin
menyuling minyak kayu putih, mereka tak perlu menebangi pohon hanya untuk
mendapatkan kayunya. Jadi, akan jauh lebih efisien, karena tak perlu
mengeluarkan biaya untuk bahan bakar.
Itulah, antara lain, yang kami lakukan di Pulau Buru melalui konsep
Kampoeng BNI. Di luar itu, Anda akan dengan mudah menemukan
kampoeng-kampoeng lain yang dikembangkan BNI di berbagai daerah di
Indonesia. Di Subang, misalnya, ada KBNI Peternakan Sapi. Di Ciamis ada
KBNI jagung manis. Di Rembang ada KBNI Batik Lasem Rembang, lalu KBNI Ikan
Nila di Ponorogo, dan seterusnya. Daftarnya sangat panjang.
Saya punya catatan soal ini. Kalau melihat konsepnya, KBNI setidak-tidaknya
memiliki dua kata kunci. Pertama, KBNI adalah program pemberdayaan
masyarakat melalui penyaluran kredit atau bantuan lainnya dengan sistem
kluster. Melalui sistem ini, setiap kluster kelak diharapkan memiliki
berbagai macam produk unggulan yang menjadi ciri khas suatu daerah. Pulau
Buru, misalnya, akan memiliki minyak kayu putih sebagai produk unggulannya.
Kata kunci kedua dibangun atas prinsip *community enterprise*. Apa itu? Apa
bedanya dengan *social enterprise*? *Social enterprise* adalah wirausaha
sosial, tetapi didirikan dan dimiliki oleh individu. Sementara *community
enterprise* adalah lembaga wirausaha yang didirikan dan dimiliki oleh
komunitas. Lembaga ini bertujuan menyelesaikan sendiri permasalahan yang
mereka hadapi. Kalau mau disederhanakan, konsep *community enterprise* ini
agak mirip dengan koperasi. Dengan konsep kluster dan komunitas, tak
mengherankan kalau kita menemukan KBNI ada di mana-mana, sebagaimana sudah
saya sebutkan sebagian di atas.
Dan saya berharap daftar KBNI akan terus bertambah panjang dan menyebar di
mana-mana. Kita perlu menjaga terus ârohâ BUMN sebagai agen pembangunan dan
saya senang Menteri BUMN kita tak melupakan peran ini, apalagi itu di
Indonesia timur yang telah banyak memberi tanpa pernah meminta. []
KORAN SINDO, 05 November 2015
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
--
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."