Ananto pratikno.ananto@gmail.com [ppiindia]
2015-11-10 09:02:22 UTC
Kita dan Bahasa
Oleh: Komaruddin Hidayat
Berbahasa itu tidak hanya berbicara. Tetapi berbahasa juga berpikir dan
berperilaku. Ketika seseorang berbicara, otaknya ikut berpikir, hatinya
ikut merasakan, lalu tindakan fisiknya mendukung.
Makanya ada istilah speech act. Jadi, berbahasa melibatkan pikiran, emosi,
pengucapan, dan tindakan. Mereka yang menderita kelainan tidak bisa
berbicara, misalnya, maka digunakan bahasa gerak isyarat. Ketika seseorang
berdiam diri melamun, mulutnya memang tidak berbicara, tapi pikiran dan
hatinya lagi sibuk bekerja. Dia berbicara dalam diam. Jadi, bahasa dan
pikiran tak terpisahkan.
Dalam masyarakat yang sudah maju, pikiran dan ucapan dilengkapi dengan
tulisan. Bahkan dilengkapi lagi dengan mesin percetakan. Tapi ada juga
komunitas yang tidak punya tradisi menulis. Mereka tidak mengenal huruf. Di
Indonesia ada beberapa suku yang memiliki bahasa lokal, namun tidak
memiliki huruf. Suku Jawa yang terbesar saja semakin tidak mengenal huruf
dan tulisan Jawa, sehingga bahasa lisan yang lebih dominan. Masyarakat
Sunda pun demikian.
Majalah lokal dengan bahasa dan huruf lokal pelan-pelan mati. Sekian puluh
bahasa lokal bahkan sudah lama hilang. Saya sering membayangkan dan
membandingkan ketebalan kamus bahasa. Kamus bahasa Inggris dan Arab mungkin
paling tebal. Masyarakat dan bangsa yang semakin maju peradabannya akan
diikuti dengan ketebalan kamusnya. Ini menunjukkan progresivitas, keluasan,
dan ketinggian garis batas bahasa dan pikiran mereka.
Sebaliknya, masyarakat yang khazanah kata dan bahasanya sempit dan sedikit,
maka alam pikiran mereka juga terbatas karena aktivitas berpikir memerlukan
instrumen bahasa. Anak kecil yang pengetahuan kata dan bahasanya terbatas
juga terbatas olah pikirnya. Pada anak kecil pertumbuhan pikiran
berbarengan dengan perkembangan khazanah bahasanya. Lalu, bagaimana halnya
dengan bahasa Indonesia?
Bahasa ini mulanya merupakan bahasa orang-orang Melayu yang tinggal di
daerah Riau yang jumlahnya tidak sebanyak orang Jawa dan Sunda. Dengan
dipilihnya bahasa Melayu sebagai nasional, mengandung nilai pembelajaran
yang sangat berharga bagi kita sekarang ini. Bahwa para pejuang kemerdekaan
dan angkatan muda 1928 itu sangat bijak dan toleran.
Bayangkan, kalau saja bahasa Jawa yang dipilih, mungkin sekali masyarakat
Sunda akan iri dan menolak karena mereka sama-sama penduduk pulau Jawa
dengan jumlah yang besar. Kedua, karakter bahasa Melayu yang menjadi bahasa
orang pantai dan juga pedagang, jauh lebih egaliter ketimbang karakter
bahasa Jawa dan Sunda yang mengawetkan kasta sosial.
Sifat bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa nasional lebih cocok dengan
semangat kemerdekaan dan modernisasi yang menekankan persatuan dan kesatuan
Indonesia serta kesamaan derajat di depan hukum. Kalau kita amati,
penyebaran bahasa Indonesia yang sedemikian cepat tidak luput dari
aktivitas dan jaringan pada pedagang yang juga penyebar Islam yang berpusat
di kotakota pantai.
Dulu, dan bekas peninggalannya masih terlihat sampai sekarang, kota-kota
pantai adalah pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam, dengan
penduduknya yang majemuk. Posisi kota pantai dengan jejaring kegiatan
perdagangan dan penyebaran agama telah berperan sebagai tonggaktonggak
pengikat simpul persatuan Nusantara. Karenanya, semangat dan perjuangan
keindonesiaan tak bisa dipisahkan dari penyebaran bahasa nasionalnya.
Dalam hal ini Indonesia merupakan bangsa dan negara yang paling berhasil
dalam perjuangan politik bahasa. Bangsa yang sedemikian besar dan majemuk
dengan mulus dan sukses berhasil memperjuangkan bahasa nasional, yaitu
bahasa Indonesia yang menjadi pengikat, penghubung, atau jembatan
komunikasi lintas etnis dan pulau. Bayangkan, betapa repot, lambat dan
mahalnya ongkos dan proses pembangunan kalau saja warga Indonesia tidak
bisa berbahasa Indonesia.
Jadi, kita pantas berterima kasih pada para pendahulu kita yang telah
berhasil membangun rumah budaya yang sedemikian besar berupa bahasa
Indonesia. Kita tinggal dan berpikir dengan dan dalam bahasa. Kita dan
bahasa bagaikan ikan dan airnya. Tanpa bahasa dunia sekeliling tidak
memiliki struktur dan nama. Tanpa bahasa tak ada bangunan ilmu pengetahuan.
Tanpa bahasa tak ada yang namanya peradaban. Yang ada tak ubahnya kerumunan
hewan- hewan yang hanya mengejar kebutuhan fisik untuk bertahan hidup
(survive). Karena bahasa adalah rumah budaya, mereka yang menguasai banyak
bahasa pasti dunianya lebih luas. Dengan membaca buku, novel, atau menonton
televisi yang menggunakan bahasa asing, serasa kita rekreasi dan masuk
rumah budaya lain sehingga kehidupan lebih luas, kaya, dan warna-warni.
Perkembangan sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh jumlah pemakainya.
Sekarang ini bahasa Inggris berkembang paling luas mendunia karena bahasa
Inggris berhasil sebagai bahasa ilmu pengetahuan yang menyebar ke seluruh
lembaga pendidikan di dunia. Ilmu pengetahuan modern yang dimotori ilmuwan
Inggris maka konsekuensi logisnya bahasa Inggris menjadi alat
penyebarannya.
Di samping faktor inovasi keilmuan, Inggris juga yang memiliki negara
koloni terbanyak di dunia, maka praktis bahasa Inggris juga paling
ekspansif penyebarannya. []
KORAN SINDO, 30 Oktober 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
Oleh: Komaruddin Hidayat
Berbahasa itu tidak hanya berbicara. Tetapi berbahasa juga berpikir dan
berperilaku. Ketika seseorang berbicara, otaknya ikut berpikir, hatinya
ikut merasakan, lalu tindakan fisiknya mendukung.
Makanya ada istilah speech act. Jadi, berbahasa melibatkan pikiran, emosi,
pengucapan, dan tindakan. Mereka yang menderita kelainan tidak bisa
berbicara, misalnya, maka digunakan bahasa gerak isyarat. Ketika seseorang
berdiam diri melamun, mulutnya memang tidak berbicara, tapi pikiran dan
hatinya lagi sibuk bekerja. Dia berbicara dalam diam. Jadi, bahasa dan
pikiran tak terpisahkan.
Dalam masyarakat yang sudah maju, pikiran dan ucapan dilengkapi dengan
tulisan. Bahkan dilengkapi lagi dengan mesin percetakan. Tapi ada juga
komunitas yang tidak punya tradisi menulis. Mereka tidak mengenal huruf. Di
Indonesia ada beberapa suku yang memiliki bahasa lokal, namun tidak
memiliki huruf. Suku Jawa yang terbesar saja semakin tidak mengenal huruf
dan tulisan Jawa, sehingga bahasa lisan yang lebih dominan. Masyarakat
Sunda pun demikian.
Majalah lokal dengan bahasa dan huruf lokal pelan-pelan mati. Sekian puluh
bahasa lokal bahkan sudah lama hilang. Saya sering membayangkan dan
membandingkan ketebalan kamus bahasa. Kamus bahasa Inggris dan Arab mungkin
paling tebal. Masyarakat dan bangsa yang semakin maju peradabannya akan
diikuti dengan ketebalan kamusnya. Ini menunjukkan progresivitas, keluasan,
dan ketinggian garis batas bahasa dan pikiran mereka.
Sebaliknya, masyarakat yang khazanah kata dan bahasanya sempit dan sedikit,
maka alam pikiran mereka juga terbatas karena aktivitas berpikir memerlukan
instrumen bahasa. Anak kecil yang pengetahuan kata dan bahasanya terbatas
juga terbatas olah pikirnya. Pada anak kecil pertumbuhan pikiran
berbarengan dengan perkembangan khazanah bahasanya. Lalu, bagaimana halnya
dengan bahasa Indonesia?
Bahasa ini mulanya merupakan bahasa orang-orang Melayu yang tinggal di
daerah Riau yang jumlahnya tidak sebanyak orang Jawa dan Sunda. Dengan
dipilihnya bahasa Melayu sebagai nasional, mengandung nilai pembelajaran
yang sangat berharga bagi kita sekarang ini. Bahwa para pejuang kemerdekaan
dan angkatan muda 1928 itu sangat bijak dan toleran.
Bayangkan, kalau saja bahasa Jawa yang dipilih, mungkin sekali masyarakat
Sunda akan iri dan menolak karena mereka sama-sama penduduk pulau Jawa
dengan jumlah yang besar. Kedua, karakter bahasa Melayu yang menjadi bahasa
orang pantai dan juga pedagang, jauh lebih egaliter ketimbang karakter
bahasa Jawa dan Sunda yang mengawetkan kasta sosial.
Sifat bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa nasional lebih cocok dengan
semangat kemerdekaan dan modernisasi yang menekankan persatuan dan kesatuan
Indonesia serta kesamaan derajat di depan hukum. Kalau kita amati,
penyebaran bahasa Indonesia yang sedemikian cepat tidak luput dari
aktivitas dan jaringan pada pedagang yang juga penyebar Islam yang berpusat
di kotakota pantai.
Dulu, dan bekas peninggalannya masih terlihat sampai sekarang, kota-kota
pantai adalah pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam, dengan
penduduknya yang majemuk. Posisi kota pantai dengan jejaring kegiatan
perdagangan dan penyebaran agama telah berperan sebagai tonggaktonggak
pengikat simpul persatuan Nusantara. Karenanya, semangat dan perjuangan
keindonesiaan tak bisa dipisahkan dari penyebaran bahasa nasionalnya.
Dalam hal ini Indonesia merupakan bangsa dan negara yang paling berhasil
dalam perjuangan politik bahasa. Bangsa yang sedemikian besar dan majemuk
dengan mulus dan sukses berhasil memperjuangkan bahasa nasional, yaitu
bahasa Indonesia yang menjadi pengikat, penghubung, atau jembatan
komunikasi lintas etnis dan pulau. Bayangkan, betapa repot, lambat dan
mahalnya ongkos dan proses pembangunan kalau saja warga Indonesia tidak
bisa berbahasa Indonesia.
Jadi, kita pantas berterima kasih pada para pendahulu kita yang telah
berhasil membangun rumah budaya yang sedemikian besar berupa bahasa
Indonesia. Kita tinggal dan berpikir dengan dan dalam bahasa. Kita dan
bahasa bagaikan ikan dan airnya. Tanpa bahasa dunia sekeliling tidak
memiliki struktur dan nama. Tanpa bahasa tak ada bangunan ilmu pengetahuan.
Tanpa bahasa tak ada yang namanya peradaban. Yang ada tak ubahnya kerumunan
hewan- hewan yang hanya mengejar kebutuhan fisik untuk bertahan hidup
(survive). Karena bahasa adalah rumah budaya, mereka yang menguasai banyak
bahasa pasti dunianya lebih luas. Dengan membaca buku, novel, atau menonton
televisi yang menggunakan bahasa asing, serasa kita rekreasi dan masuk
rumah budaya lain sehingga kehidupan lebih luas, kaya, dan warna-warni.
Perkembangan sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh jumlah pemakainya.
Sekarang ini bahasa Inggris berkembang paling luas mendunia karena bahasa
Inggris berhasil sebagai bahasa ilmu pengetahuan yang menyebar ke seluruh
lembaga pendidikan di dunia. Ilmu pengetahuan modern yang dimotori ilmuwan
Inggris maka konsekuensi logisnya bahasa Inggris menjadi alat
penyebarannya.
Di samping faktor inovasi keilmuan, Inggris juga yang memiliki negara
koloni terbanyak di dunia, maka praktis bahasa Inggris juga paling
ekspansif penyebarannya. []
KORAN SINDO, 30 Oktober 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
--
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."