Discussion:
[ppiindia] Mahfud MD: Vonis Salah Tetap Mengikat
Ananto pratikno.ananto@gmail.com [ppiindia]
2015-11-10 08:11:38 UTC
Permalink
Vonis Salah Tetap Mengikat

Oleh: Moh Mahfud MD



Dalam kunjungan ke berbagai tempat, baik untuk acara yang sifatnya umum
maupun untuk memberi kuliah di kampus-kampus, saya sering mendapat
pernyataan dan pertanyaan mengenai vonis-vonis Mahkamah Konstitusi (MK).



Pernyataannya, belakangan ini banyak vonis yang bertentangan dengan rasa
keadilan, terlalu liberal, ceroboh, dan ditentang oleh masyarakat.
Pertanyaan-pertanyaannya antara lain, mengapa belakangan ini banyak vonis
MK yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat? Bagaimana kalau putusan MK
itu salah?



Sebenarnya penolakan, kecaman, dan penilaian buruk atas vonis-vonis MK yang
muncul dari tengah-tengah masyarakat bukan hanya terjadi belakangan ini,
tetapi sudah selalu terjadi sejak dulu. Sejak dulu setiap ada vonis MK
selalu ada saja yang mencelanya.



Sekurang-kurangnya pihak yang kalah dalam perkara di MK mengecam vonis MK
sebagai vonis yang tidak benar, kolutif, politis, mencari popularitas, dan
sebagainya. Segemuruh apa pun dukungan sebagian terbesar masyarakat atas
suatu vonis MK, pasti ada saja yang mencela dan mengecamnya.



Ketika pada 2009 MK mengadili perkara ”cicak vs buaya” dengan memutar
rekaman pembicaraan rekayasa kasus yang melibatkan oknum-oknum penegak
hukum, jutaan masyarakat menyambut dan mendukungnya dengan menggelegar dan
menggetarkan bumi, tetapi ada saja yang mengatakan bahwa MK bekerja di luar
wewenang dan mendramatisasi masalah karena menilai kasus konkret dalam
perkara pengujian UU yang merupakan norma abstrak.



Begitu juga ketika MK memvonis pembubaran BP Migas atau membatalkan hasil
pemilu legislatif dan pemilukada, meskipun disambut dengan gembira oleh
sebagian besar masyarakat, ada saja warga masyarakat yang mengecamnya.
Pokoknya, setiap vonis MK pasti ada yang mendukung dan ada yang
mengecamnya.



Itu adalah konsekuensi hidup berdemokrasi. Tapi, terlepas dari soal ada
yang setuju dan ada yang tidak setuju, vonis MK itu tetap mengikat, bukan
hanya harus dihormati, tetapi wajib ditaati dan harus dilaksanakan sebagai
putusan hukum yang final. Saya sendiri, baik sebagai warga masyarakat dulu
dan sekarang maupun saat menjadi hakim MK dulu, sering juga tidak setuju
atas vonis-vonis MK,



tetapi saya menaatinya sebagai vonis yang harus dilaksanakan. Saat menjadi
ketua MK dulu, misalnya, saya sama sekali tidak setuju kalau MK melakukan
pengujian konstitusionalitas (judicial review) atas peraturan pemerintah
pengganti undangundang (perppu). Alasan saya, karena menurut Pasal 24C ayat
(1) UUD NRI 1945, MK hanya menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD dan
menurut Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 perppu itu diuji oleh DPR melalui
legislative review atau political review untuk menentukan keberlakuannya
sebagai UU.



Tapi waktu itu saya kalah voting dalam permusyawaratan hakim MK yang
sebagian besar menyetujui bahwa perppu bisa diuji konstitusionalitasnya
oleh MK. Saya pun mendukung dan mengampanyekan kepada publik bahwa vonis MK
tentang kompetensinya untuk menguji perppu berlaku mengikat karena vonis MK
bersifat final.



Setelah tidak menjadi hakim MK pun saya tidak setuju atas beberapa vonis MK
yang menurut penilaian subjektif saya tidak benar. Vonis MK yang membuka
peluang peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali menurut saya tidak
tepat karena bisa menabrak kepastian hukum dan tidak sesuai dengan filosofi
bahwa PK adalah upaya hukum luar biasa.



Tapi ketidak setujuan saya tidak mengikat dan sebaliknya vonis MK itulah
yang menurut konstitusi mengikat. Saya pun tidak setuju dan menganggap
tidak tepat vonis MK yang membolehkan mantan narapidana yang baru keluar
dari penjara (lembaga pemasyarakatan) langsung boleh mencalonkan diri dalam
pemilihan umum kepala daerah.



Menurut saya vonis itu terlalu liberal. Masih ada beberapa vonis MK yang
menurut saya kurang tepat, tetapi vonis MK tetap mengikat, harus ditaati,
dan harus ditegakkan. Mengapa vonis MK mengikat? Karena pengadilan memang
diberi wewenang oleh negara untuk menyelesaikan perselisihan atau memutus
perkara.



Putusan pengadilan yang sudah final harus diikuti dan segera dilaksanakan,
sebab jika putusan yang sudah final masih bisa dipersoalkan atau
dimentahkan karena ada orang yang tidak setuju, masalah tidak akan
selesai-selesai dan tidak ada gunanya ada pengadilan. Ada kaidah dalam
metodologi hukum Islam yang berlaku universal: ”vonis hakim itu mengakhiri
perselisihan (hukmul haakim yarfa (hukmul haakim yarfaul khilaaf) ”.



Jadi apa pun isinya putusan hakim itu harus diterima sebagai hukum untuk
mengakhiri sengketa. Bagaimana kalau vonisnya salah? Kalau vonis salah,
asalkan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht ), vonis itu tetap berlaku
mengikat, sedangkan kesalahan itu dilihat sebagai kasus yang bisa diadili
tersendiri.



Misalnya kesalahan itu terjadi karena penyuapan, maka hakim dan penyuapnya
dihukum melalui pengadilan tersendiri tanpa harus membatalkan vonis yang
inkracht. Tentu masih ada yang mempersoalkan dengan mengatakan bahwa itu
tidak adil dan lebih tepat kalau putusan yang salah itu dibatalkan.



Pikiran seperti benar juga, tetapi risikonya akan banyak masalah hukum yang
tak selesai-selesai karena dituding vonisnya salah. Prinsipnya, vonis yang
inkracht tetap mengikat dan harus dilaksanakan, tetapi kalau salah, ada
pengadilan hukum dan atau etik tersendiri untuk menyelesaikannya. []



KORAN SINDO, 31 Oktober 2015
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
--
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
Loading...